Penduduk Pulau Sebatik yang terserap pada subsektor pertanian sawah
dan ladang relatif sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan
keseluruhan populasi penduduk Pulau Sebatik. Demikian pula luas lahan
yang digunakan untuk pertanian sawah dan ladang. Kepemilikan sawah
bersifat perorangan, dalam arti seorang yang memiliki lahan pertanian
dapat mempekerjakan buruh-buruh tani. Buruh tani yang bekerja pada lahan
seorang pemilik sawah berasal merupakan orang-orang terdekat dengan
pemilik lahan. Di antara para buruh tani tersebut beberapa di antaranya
masih terkait hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan pertanian.
Pertanian ladang banyak digerakkan oleh etnis Tidung. Pertanian ladang yang terdapat di Pulau Sebatik tidak bersifat
slash and burn.
Secara teknis, ladang yang berada di Pulau Sebatik merupakan
pemanfaatan dari lahan-lahan yang belum produktif, ditanami padi dengan
cara pengairan yang bersifat tadah hujan. Ladang-ladang tersebut
berdekatan tempatnya dengan perkebunan coklat atau kelapa sawit. Lahan
pertanian sawah di Pulau Sebatik merupakan sawah tadah hujan. Sistem
irigasi belum tersedia dengan baik di Pulau Sebatik, pengelolaan irigasi
tadah hujan sangat mengandalkan pada curah hujan yang selalu turun
setiap bulan. Akibat dari sistem pertanian sawah hujan tersebut,
produktivitas pertanian sawah relatif minim. Penduduk mendapatkan beras
sebagai bahan pokok dari Kota Tawau.
Masyarakat Pulau Sebatik mayoritas terserap pada lapangan kerja
sektor perkebunan, terutama di subsektor perkebunan kakao dan subsektor
perkebunan sawit. Potensi besar terkandung di Pulau Sebatik dari hasil
bumi pada ranah subsektor perkebunan, baik kakao maupun kelapa sawit.
Sebelum mengembangkan tanaman kakao, di masyarakat di Pulau Sebatik
pernah mengembangkan tanaman kopi, terutama saat permintaan kopi dari
Malaysia cukup besar. Setelah permintaan kopi menurun dan anjlok
harga,masyarakat mulai beralih pada tanaman kakao.
Perkebunan Kakao
Indonesia merupakan salah satu penghasil coklat terbesar di dunia.
Tanaman ini umumnya tumbuh subur di iklim tropis. Tanaman ini dapat
mencapai tinggi lebih dari 10 meter. Namun untuk budidaya perkebunan,
tanaman kakao diperpendek menjadi 5 meter dan diupayakan tumbuh cabang
atau ranting di samping batang utama. Banyaknya cabang yang menyamping
ditujukan agar memperbanyak cabang yang menghasilkan kakao. Semakin
banyak cabang, kemungkinan produksi kakao semakin banyak dan bermuara
pada tingginya produktivitas kakao dari satu pohon.
Lahan perkebunan kakao di Kecamatan Sebatik yang tercatat dalam buku
Nunukan Dalam Angka Tahun 2008 seluas 11.143,00 ha. Lahan perkebunan
kakao mampu menyerap 3.155 petani dari total 20.283 orang yang bermukim
di Kecamatan Sebatik. Untuk Kecamatan Sebatik Barat, dalam buku Nunukan
Dalam Angka Tahun 2008 tidak memiliki perkebunan kakao, sehingga jumlah
penduduk Kecamatan Sebatik Barat yang terserap pada subsektor
perkebunan kakao nihil jumlahnya.
Desa Sei Taiwan merupakan penghasil biji coklat terbesar di Pulau
Sebatik (Theobroma cacao). Disini, hampir di semua rumah penduduk punya
pengolahan coklat. Menurut penuturan seorang informan, sejak tahun 1980
an penduduk Indonesia yang bermukim di Pulau Sebatik sudah mulai
menanam coklat, “Mulanya sekitar tahun 80an penduduk menanam kakao,
puncaknya tahun 1990-an kami merasakan panen raya”. Masa panen raya
pernah bertepatan dengan krisis ekonomi yang terjadi tahun 1998. Harga
kakao melonjak beberapa kali lipat dan sangat menguntungkan bagi mereka
yang terserap di subsektor perkebunan kakao. Tidak hanya menguntungkan
para pemilik lahan, para pekerja perkebunan kakao pun mendapatkan
keuntungan secara langsung dari bagi hasil atas produksi kakao.
“Saat terjadi krisis moneter
tahun 1998, saat itu kami tengah panen raya kakao. Dari harga kakao
yang harganya 4 ringgit perkilo naik jadi 10 ringgit perkilo. Waktu itu
satu ringgit kalau tidak salah masih berapa rupiah…saat kita rupiahkan
naiknya kurang lebih 10 kali lipat. Kita jual kakao itu ke Tawau memakai
ringgit, terbayang kan, … jadi keuntungannya yang kita dapat sangat
besar. Karena itu banyak penduduk yang naik haji karena krismon. Kalau
ditanyakan ke penduduk di sini, mungkin mereka inginnya kena krismon
lagi. Karena bagi warga Sebatik, krismon itu ternyata menguntungkan,
tidak seperti di tempat lain, atau di Jakarta yang katanya krismon itu
merugikan, tapi kalo di sini krismon itu menguntungkan. Saya yang
bekerja di perkebunan saja bisa menabung untuk naik haji, apalagi Pak
H., yang punya lahan perkebunan, dia bisa memiliki banyak uang untuk
membeli kebun-kebun coklat dan sekarang ini dia juga memiliki banyak
kebun sawit dari tanah penduduk.”
Biji coklat yang mereka panen biasanya mereka jual ke
“sebelah”.”Sebelah” adalah sebutan setiap petani atau nelayan Sebatik
untuk Tawao, Sabah, Malaysia yang menjadi tujuan penjualan hasil bumi.
Informan tadi juga menuturkan, dalam sebulan ia bisa mengirim sampai
tujuh kali ke pengepul sebelum dijual ke Malaysia. Setiap kali
pengiriman jumlahnya 40 karung, dengan berat 40 Kilogram. Sedangkan
harga jual yang ditetapkan oleh pengepul ke Tawao sebesar 6,5 Ringgit
Malaysia per Kilogram. Sementara petani menjual coklat 5,5 Ringgit
Malaysia kepada pengepul. Ia menyatakab bahwa setiap bulan, dari lahan
perkebunan coklat, dapat dipanen buahnya sebanyak dua kali. Hal ini
menyiratkan bahwa perkebunan kakao di Pulau Sebatik merupakan potensi
yang sangat besar untuk dijalankan secara terus menerus. Bila
dikuantifikasikan, setiap panen didapatkan 1600 kilogram yang setara
dengan Rp. 22.000.000,00 dikalikan 7 (tujuh) kali atau sekitar Rp.
154.000.000,00 dari setiap lahan dalam sebulan. Hasil sebesar itu
didapatkan hanya dari penjualan buah kakao atau komoditas yang bersifat
bahan mentah.
Lahan perkebunan kakao merupakan subsektor andalan bagi masyarakat
Pulau Sebatik. Tingginya harga kakao serta banyaknya ketersediaan lahan
di Pulau Sebatik untuk ditanami kakao, membuat masyarakat setempat
banyak terserap sebagai pekerja perkebunan kakao. Dari pekerjaan
tersebut, para pekerja mendapatkan upah yang ditentukan dari laba hasil
penjualan kakao di Tawau. Selain para pekerja perkebunan, pihak lain
yang mendapatkan keuntungan adalah pengepul kakao. Para pengepul
mendapatkan laba kotor sekitar 1 ringgit perkilogramnya. Laba kotor yang
dimaksud adalah biaya transpor untuk pengangkutan kakao ke Tawau.
Dengan demikian, pihak lain yang mendapatkan nafkah dari perkebunan
kakao adalah pihak penyedia transpor yang mengantarkan komoditas dari
Pulau Sebatik ke Tawau.
Para pekerja di perkebunan kakao pada umumnya adalah laki-laki dewasa
dan sebagian kecilnya adalah perempuan dewasa. Anak-anak tidak terlibat
langsung di sektor perkebunan kakao, dalam keseharian anak-anak di
Pulau Sebatik, keterlibatan mereka di bidang perkebunan sangat kecil.
Sebagian besar waktu bagi anak-anak adalah bersekolah dan bermain di
sekitar rumahya. Meski demikian, terlihat beberapa anak yang turut
pergi bersama orang tuanya ke kebun kakao namun tidak terlihat mereka
sedang turun tangan dalam mengalokasikan sumber daya alam tersebut
melainkan untuk bermain bersama anak-anak pekerja perkebunan kakao
lainnya.
Kepemilikan lahan kakao di Pulau Sebatik bersifat perorangan.
Lahan-lahan perkebunan kakao tidak berada di bawah pengelolaan
pengusahaan negara. Jumlah pemilik lahan kakao di Pulau Sebatik sangat
sedikit jumlahnya, namun memiliki luas yang relatif besar. Pengusaha
perkebunan adalah kelompok berpendapatan tertinggi bila dibandingkan
dengan pekerja, pengepul, dan penyedia jasa transpor. Beberapa orang
terkaya di Pulau Sebatik adalah pengusaha perkebunan kakao. Dari laba
yang mereka peroleh, sangat terbuka bagi kelompok ini untuk membuka aset
mereka lainnya, yaitu perkebunan kelapa sawit.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan kelapa sawit merupakan subsektor penyerap kerja dan
penghasil devisa terbesar kedua di Pulau Sebatik setelah perkebunan
coklat. Perkebunan kelapa sawit relatif baru dibuka di Pulau Sebatik.
Perkebunan ini menyerap tenaga kerja yang tidak terserap di sektor
perkebunan kakao. Perkebunan kelapa sawit yang baru dibuka tersebut
merupakan program baru untuk pengupayaan industri CPO yang tengah
dikembangkan di Provinsi Kalimantan Timur bagian utara.
Lahan perkebunan kelapa sawit di Pulau Sebatik seluas 1778 dan
menyerap 889 petani. Lahan perkebunan kelapa sawit yang berada di
Kecamatan Sebatik seluas 900ha dan menyerap 450 petani, sedangkan
Kecamatan Sebatik Barat, memiliki lahan kelapa sawit seluas 878 dan
menyerap 439 petani (Nunukan Dalam Angka Tahun 2008). Perkebunan kelapa
sawit di Pulau Sebatik memang masih dalam tahap awal pengusahaan,
karenanya jumlah lahan yang akan dipergunakan untuk perkebunan sawit
diperkirakan akan semakin meluas.
Perkebunan sawit di Pulau Sebatik dimulai sejak tahun 2006. Pemkab
Nunukan memiliki inisiatif untuk memasyarakatkan penanaman kelapa sawit.
Hal ini untuk mendukung upaya Provinsi Kalimantan Timur sebagai lumbung
sawit dunia. Menurut tokoh pemuda setempat, “Ada banyak pejabat
Nunukan dan pengusaha yang punya ratusan hektar kelapa sawit di sini.
Kami senang saja, karena sekarang pulau ini makin berkembang, tidak
seperti waktu saya kecil. Bahkan dengan dibukanya perkebunan sawit di
sini sudah bisa membuka lapangan pekerjaan karena perkebunan sawit sudah
mulai berkembang.”
Seperti halnya perkebunan kakao, kepemilikian lahan perkebunan kelapa
sawit di Pulau Sebatik merupakan kepemilikan perorangan. Dari sekian
banyak tenaga kerja di bidang perkebunan sawit, pemilik lahan perkebunan
jumlahnya sangat sedikit, namun mereka adalah kelompok dengan
pendapatan terbesar dari hasil penjualan kelapa sawit ke Kota Tawau
Malaysia. Beberapa orang pemilik lahan perkebunan sawit merupakan
pemilik lahan perkebunan kakao terdahulu, yang telah mendapatkan hasil
melimpah dari penjualan kakao.
Masyarakat Pulau Sebatik mengandalkan pula dari hasil bumi berupa
sawit mentah yang belum diolah untuk dijual ke Kota Tawau. Sawit-sawit
tersebut dilepaskan dari pokok buahnya menjadi butiran-butiran sawit
terlebih dahulu. Pengerjaan melepaskan butiran sawit tersebut dilakukan
di pengepul. Sebelum dipindahkan ke perahu, butiran-butiran sawit
dilepaskan dan ditampung pada gerobak untuk kemudian dipindahkan ke
dalam perahu atau kapal.
Karena pengelolaan perkebunan dan kepemilikan lahan yang bersifat
perorangan, dari sisi kerapihan tanaman sawit sangat kontras dengan
perkebunan kelapa sawit yang terletak di Pulau Sebatik Malaysia yang
dikelola secara profesional oleh suatu perusahaan. Dari lokasi Bukit
Menangis di wilayah Kecamatan Sebatik Barat yang merupakan dataran
tinggi, dapat dilihat kondisi tersebut. Perkebunan sawit yang berada di
Indonesia tampak tidak tertata dan diselingini alang-alang atau hutan
kecil. Berbeda dengan perkebunan sawit yang berada di wilayah Malaysia,
pemandangannya tampak tertata dengan rapi. Perbedaan lainnya adalah di
wilayah Malaysia terdapat pabrik pengolahan CPO yang berada di tengah
perkebunan sawit, sementara di wilayah Indonesia tidak terdapat pabrik
pengolahan sawit untuk industri CPO. Ketiadaan pabrik pengolahan sawit
inilah yang menyebabkan Pulau Sebatik berperan sebagai pengekspor kelapa
sawit mentah yang belum diolah menjadi minyak.
Perikanan
Sektor perikanan di Pulau Sebatik terbagi atas dua subsektor yaitu,
subsektor perikanan tangkap dan subsektor perikanan budidaya. Sektor
perikanan tangkap digerakkan oleh para nelayan yang terbagi atas dua
kategori yaitu nelayan tradisional dan nelayan post-tradisional. Sektor
perikanan budidaya yang dikembangkan di Pulau Sebatik adalah budidaya
rumput laut, dan sedikit lahan kolam ikan air tawar.
Subsektor perikanan tangkap merupakan sumber devisa terbesar dari
sektor perikanan. Sebagai sumber devisa terbesar, subsektor ini
merupakan penyerap tenaga kerja terbesar dari sektor perikanan.
Nelayan-nelayan di Pulau Sebatik pada umumnya bergerak di subsektor
perikanan tangkap, sangat sedikit nelayan yang bergerak di luar
aktivitas kenelayanan.
Lingkungan perairan di wilayah Pulau Sebatik yang tenang membuat
nelayan dapat melaut kapanpun. Uniknya, di daerah ini, nelayan tidak
bergantung pada musim, tidak seperti halnya nelayan-nelayan lain yang
berada di wilayah Indonesia. Modernisasi perahu dan peralatan tangkappun
turut mendorong nelayan untuk dapat melaut kapan pun, baik siang maupun
malam hari. Penangkapan ikan laut dapat dilakukan di setiap bulan,
karena ketiadaan musim paceklik dan musim panen. Ketua HNSI Sebatik
menuturkan:
“Alhamdulillah, laut di
sekitar Pulau Sebatik ini cukup bersahabat. Banyak sekali pilihan daerah
penangkapan ikan, baik yang dekat dari pantai ataupun yang jauh dari
pantai. Nelayan di Pulau Sebatik ini pada umumnya bisa melaut kapan
saja, ada yang berangkat siang, pulang sore, ada juga yang berangkat
malam sampai pagi. Terutama nelayan-nelayan yang peralatannya sederhana.
Kalau perahu kayu yang tidak ada motornya, dalam bahasa sini dinamakan
jongkong, biasanya nelayan seperti ini melaut di sekitaran pantai atau
di Selat Sebatik saja yang tidak ada gelombangnya. Walaupun menggunakan jongkong, ikan-ikan selalu dapat ditangkap, bagusnya kalau kita menggunakan jongkong, setelah kita mendapatkan ikan yang cukup, kita bisa cepat pulang dulu, menyimpan ikan, lalu kita bisa kembali lagi ke laut.”
Saat ditanyakan berapa lama nelayan besar atau nelayan yang
menggunakan kapal dapat melaut, dan pengorganisasian kerja dalam kapal
mereka, Ketua HNSI Sebatik menjawab:
“Untuk
nelayan-nelayan besar, nelayan Sebatik biasanya melaut hingga 10 hari
lamanya. Mereka biasa melaut hingga ke daerah Tanjung Batu atau hingga
Berau. Untuk mengisi bahan bakar dan bahan makanan bagi awak kapal,
nelayan bisa merapat dulu di Tarakan atau di Berau. Nelayan-nelayan
seperti ini sudah biasa tidur di laut, Pak. Karena yang namanya
menjaring itu kadang kita memasang jaring pukul 6 sore, dan baru kita
angkat jam 12 malam. Itupun tergantung, kalau muatan kita penuh, bisa
kita percepat pulangnya atau sebagian bisa kita jual dulu di Berau atau
Tarakan sambil mengisi bahan bakar dan makanan buat awak kapal … Untuk
pembagian tugasnya, dalam kapal-kapal nelayan itu ada yang disebut
juragan, dia tugasnya sebagai nakhoda kapal. Juragan itu boleh dikatakan
yang punya kapal atau perahu. Awak kapal, biasanya disebut anak buah
saja, mereka ini bertugas menjaring dan mengangkat ikan dari
jaring-jaring. Nelayan-nelayan di sini belum memiliki pengolahan atau cold storage.
Karenanya kita tidak bisa lama di laut, khawatir ikan terlalu lama di
kapal akan cepat rusak atau membusuk, sehingga bisa menurunkan harga
jualnya.”
Nelayan-nelayan Sebatik selalau menjual tangkapannya langsung ke Kota Tawau. Di tempat tersebut, telah ada
tauke
yang siap menampung hasil tangkapan dari nelayan-nelayan Sebatik.
Tauke-tauke ini beberapa di antaranya masih terikat hubungan kekerabatan
dengan beberapa juragan yang berasal dari Pulau Sebatik. Mereka menjual
hasil tangkapan yang dinilai dalam ringgit Malaysia.
Staf dari kecamatan Sebatik menyatakan bahwa ada juga praktek pertengkulakan yang dilakukan oleh
tauke di Malaysia.
Tauke-tauke tersebut
memberikan modal dan meminjamkan kapal kepada nelayan-nelayan dari
Pulau Sebatik untuk menangkap ikan di perairan Pulau Sebatik. Hasil
tangkapan dari nelayan tersebut disetorkan kepada
tauke dan nelayan menerima pembagian hasil dari penjualan ikan yang dilakukan
tauke tersebut.
Lebih jauh praktek pertengkulakan tersebut seringkali menggunakan
alat tangkap pukat harimau (trawl). Kebijakan di Malaysia memang
mengizinkan trawl untuk beroperasi. Karena sumber daya alam perikanan
kebanyakan berada di wilayah Negara Indonesia, maka para
tauke dari
Kota Tawau mempekerjakan nelayan-nelayan Indonesia agar dapat
beroperasi di wilayah perairan Indonesia. Siasat ini digunakan untuk
mengelabui polisi air yang mengontrol aktivitas perikanan di wilayah
Indonesia. Saat diperiksa, ternyata nakhoda dan awak kapalnya berasal
dari Indonesia, sehingga mereka bebas untuk berlabuh di perairan
Indonesia.
Wilayah perairan laut di Pulau Sebatik dan Nunukan merupakan kawasan yang rawan pencurian ikan (
illegal fishing). Saat kegiatan prapenelitian ini dilakukan, di Pangkalan Angkatan Laut Nunukan, sedang ditangkap pelaku
illegal fishing yang
berasal dari Filipina. Kapal-kapal mereka ditambatkan dan para
nelayannya dilindungi dan dijunjung hak-hak hidupnya untuk bebas keluar
dari kapal namun tetap berada di dalam pengawasan staf TNI AL yang
berada di Pangkalan Angkatan Laut Nunukan. Kapal mereka dipelihara dan
para awaknya diperbolehkan untuk merawat kapal mereka atau memperbaiki
peralatan tangkapnya sambil menunggu proses hukum atau menunggu di
pulangkan kembali ke Filipina.
Ketua HNSI Sebatik menyatakan bahwa nelayan-nelayan di Pulau Sebatik
merasa resah dengan beroperasinya kapal-kapal yang dilengkapi dengan
pukat harimau. Nelayan merasa khawatir hasil tangkapannya akan menyusut
karena ikan-ikan lebih banyak terjerat oleh pukat harimau daripada
jaring yang mereka miliki. Walaupun demikian, ia menyatakan, bahwa
nelayan-nelayan kecil tak mampu menjangkau daerah laut tempat
beroperasinya kapal berpukat harimau, namun karena dampak kerusakan
lingkungan bawah laut yang diakibatkan oleh pukat harimau tersebut akan
mengakibatkan menyusutnya jumlah ikan yang hidup di perairan Pulau
Sebatik.
Bagan yang berada di perairan laut sekitar Pulau Sebatik adalah bagan
tancap. Bagan ini dibuat dari kayu yang ditancapkan pada dasar laut
yang berupa lumpur atau pasir. Di atasnya dibuat sebuah ruangan sebagai
tempat bagi para nelayan untuk menarik jaring yang terletak di bawah
struktur bangunan bagan. Untuk melindungi para pekerja yang bekerja di
bagan, dibuat atap untuk melindungi dari cuaca hujan maupun panas.
Dengan adanya ruangan dan perlindungan dari cuaca tersebut, bagan dapat
digunakan juga untuk rekreasi pemancingan, dan dapat dihuni oleh pekerja
untuk sementara waktu. Pada Bagian tengah bangunan dipasang jaring yang
disebut Wareng dengan ukuran bervariasi tergantung selera pemiliknya
dengan mata jaring 0.4 cm, biasanya ukurannya 7 x 7 meter.
Pada dasarnya alat ini terdiri dari bangunan bagan yang terbuat dari
bambu/kayu, jaring yang berbentuk segi empat yang diikatkan pada bingkai
yang terbuat dari bambu/kayu. Pada keempat sisinya terdapat beberapa
batang bambu/kayu melintang dan menyilang yang dimaksudkan untuk
memperkuat berdirinya bagan. Di atas bangunan bagan dibagian tengah
terdapat bangunan rumah yang berfungsi sebagai tempat istirahat,
pelindung lampu dari hujan dan tempat untuk melihat ikan/hasil
tangkapan. Di atas bangunan ini terdapat roller (semacam pemutar) yang
terbuat dari bambu /kayu yang berfungsi untuk menarik jaring.
Umumnya alat tangkap ini berukuran 9 x 9 meter, sedangkan tinggi dari
dasar perairan rata-rata 12 meter, dengan demikian, kedalaman perairan
untuk tempat pemasangan alat tangkap ini rata-rata pada kedalaman 8
meter, namun pada daerah tertentu ada yang memasang pada kedalaman 15
meter, karena ditancapkan ke dasar perairan maka dasar laut yang menjadi
tempat penancapan tiang bagan adalah dasar perairan yang mengandung
lumpur bercampur pasir.
Posisi jaring dari bagan ini terletak di bagian bawah dari bangunan
bagan yang diikatkan pada bingkai bambu/kayu yang berbentuk segi empat.
Bingkai bambu/kayu tersebut dihubungkan dengan tali pada keempat
sisinya yang berfungsi untuk menarik jaring. Pada ke empat sisi jaring
ini diberi pemberat yang berfungsi untuk menenggelamkan jaring dan
memberikan posisi jaring yang lebih baik selama dalam air.
Untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul di bawah bagan, umumnya
nelayan menggunakan lampu petromaks yang jumlahnya bervariasi 2 – 5
buah. Ikan-ikan di dalam perairan akan tertarik dan mencari asal cahaya
petromaks tersebut yang terletak di daerah bagan tancap. Penggunaan
lampu petromaks tersebut dianggap efektif bagi nelayan Sebatik, karena
mampu menarik perhatian ikan dalam jumlah yang relatif besar. Ikan-ikan
yang tertarik oleh cahaya petromaks tidak saja ikan-ikan yang berukuran
kecil. Ikan-ikan berukuran relatif besarpun tertarik untuk berada di
lokasi cahaya petromaks karena gerombolan ikan-ikan kecil merupakan
mangsa baginya.
Langkah pertama dalam mengoperasikan alat ini adalah menurunkan
jaring dan kemudian memasang lampu yang posisinya tepat di atas jaring (
wareng).
Setelah beberapa jam kemudian (sekitar 4 jam) atau dianggap sudah
banyak ikan yang berkumpul di bawah bagan maka penarikan jaring mulai
dilakukan. Penarikan dilakukan dengan memutar
roller secara
perlahan-lahan. Setelah jaring mendekati permukaan air, pada
gilirannya, jaring diangkat dengan cepat sehingga jaring terangkat ke
atas dan ikan yang tangkapan terjebak di dalamnya tidak memperoleh
kesempatan untuk melarikan ddiri. Setelah jaring berada di dalam
bangunan bagan, ikan tangkapan diambil dengan menggunakan
serok
(jaring yang bertangkai panjang). Operasi penangkapan ikan dapat
dilanjutkan kembali setelah jaring bersih dari ikan tangkapan. Jaring
diturunkan kembali ke dalam laut seperti awal di atas dan berpola
demikian seterusnya. Dalam satu malam, operasi penangkapan ikan melalui
bagan dapat dilakukan dua hingga tiga kali menurunkan jaring.
Karena bagan ditancapkan ke dasar perairan, yang berarti kedalaman
laut tempat beroperasinya alat ini menjadi sangat terbatas yaitu pada
perairan dangkal. Alat ini dapat dipakai dengan efektif pada saat bulan
gelap sebab sasaran tangkapan akan tertarik kepada cahaya lampu
Petromaks pada saat gelap dan berkumpul di bawah bagan (di atas jaring).
Hasil tangkapan alat adalah ikan-ikan yang biasa hidup bergerombol
misalnya ikan Tamban, ikan Ciu, ikan Kepetek, ikan-ikan berukuran sedang
misalnya ikan Tongkol, ikan Tenggiri, cumi-cumi (sotong), dan udang.
Budidaya
Budidaya yang diutarakan dalam laporan ini adalah khusus pada
budidaya rumput laut. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan
dari staf Kecamatan Sebatik Barat, sebagian warga Sebatik di Sebatik
Barat mulai membudidaya rumput laut pada tahun 2008. Ia menambahkan,
minat warga untuk membudidayakan rumput laut karena terdorong oleh
prospek pemasarannya yang cukup bagus di Malaysia. Mereka
beramai-ramai membuat penangkaran rumput laut di wilayah perairan
perbatasan Selat Sebatik yang menghubungkan Pulau Sebatik dengan Pulau
Nunukan. Usaha rumput laut ini dipandang memiliki prospek cerah seiring
dengan membaiknya pasaran rumput laut di Malaysia. Usaha ini merupakan
diversifikasi dari perikanan tangkap yang biasa di lakukan oleh
masyarakat di pesisir barat Pulau Sebatik, dan dianggap mampu
meningkatkan kualitas taraf ekonomi masyarakat setempat.
Pembudidayaan rumput laut banyak ditemui di desa Tanjung Aru,
Mantikas dan Tanjung Karang. Dikatakan oleh staf Kecamatan Sebatik
Barat, “’Walau pembudidayaan rumput laut di sini masih bersifat coba
coba, tapi hasilnya sudah mulai kelihatan. Artinya, usaha budidaya
rumput laut sangat menjanjikan, asalkan benar-benar dikelola dengan
baik. Terlebih minat warga Kota Tawau sangat besar untuk membeli hasil
budidaya rumput warga Sebatik.’’ Ia pernah menelusuri bahwa harga
rumput laut kering mencapai 6 ringgit Malaysia atau setara Rp 20 ribu
per kilo. Sedang panen pertama dari hasil tanam coba coba yang dilakukan
oleh seorang warga pernah menghasilkan sekitar 200 kg dari hasil tanam
benih seberat 15 kg.
Pada saat kegiatan prapenelitian ini dilakukan, beberapa warga Pulau
Sebatik tengah yang berada di sekitar dermaga Mantikas tengah melakukan
kegiatan budidaya rumput laut. Rumput laut ditanam di perairan dangkal
dan diberi pelampung yang terbuat dari botol-botol plastik sebagai tanda
lahan budidaya rumput laut.
Warga yang terlibat dalam kegiatan budidaya rumput laut menyatakan
bahwa pemeliharaan rumput laut cukup mudah. Ditunjang dengan kondisi
alam laut dangkal yang tenang dan kontur berlumpur, memudahkan mereka
untuk menanami wilayah
offshore hingga ketinggian air sebatas
pinggang. Untuk menghindari persinggungan batas lahan, warga biasanya
mengosongkan suatu wilayah antara lahan rumput laut milik seseorang
dengan seseorang lainnya.