Selasa, 28 Mei 2013

MAKALAH “NIKAH PAKSA” (AL-ISLAM)






MAKALAH

“NIKAH PAKSA”
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata kuliah Al-Islam IV


Disusun Oleh :


RUSTIANI HARTINI            06 316 1111 143
SETIA LESTARI                    06 316 1111 159
NI’MAH HASNI                    06 316 1111 157
NIA ANDRIANI                    06 316 1111 144
USWATUN HASANAH        06 316 1111 130
RIZKY NUROJAB                06 316 1111 161

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2013





KATA PENGANTAR
                                                                       


Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur kami panjatkan hanya kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Nikah Paksa“.Makalah ini merupakan syarat dalam menempuh mata kuliah Al-Islam IV.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami menemukan banyak hambatan dan rintangan tetapi dengan bantuan berbagai pihak, kami dapat melewati masalah tersebut. Dalam proses penyusunan makalah ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terimakasih kami sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa pada makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi kami sendiri.




Sukabumi, 16 Mei 2013


penulis






BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Pernikahan ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan suka rela dan kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang di ridhloi Allah SWT. Dari pengertian tersebut  jelaslah bahwa berlangsungnya sebuah pernikahan haruslah diiringi dengan kerelaan antar calon pengantin. Namun pada kenyataannya di zaman sekarang ini masih banyak terjadi nikah secara paksa, hal tersebut akan mengakibatkan ikatan perkawinannya tidak sejahtera, dan berakhir dengan perceraian.
1.2  Rumusan Masalah
  1. Bagaimana  hukum pernikahan secara paksa?
  2. Apakah  dibolehkan untuk menikah paksa?
  3. Bagaimanakah peran ayah sebagai wali dalam nikah paksa?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui lebih dalam tentang Pengertian Pernikahan Dan Hukum Pernikahan Paksa.
2. Sebagai bahan diskusi mata kuliah Al-Islam IV.
3. Sebagai Pemenuhan tugas makalah mata kuliah Al-Islam  IV.
4. Diharapkan pembaca dapat menerapkannya dalam pembuatan makalah.




1.4 Sistematika Penulisan
Disini kita akan membuat isi makalah yang terbagi dalam beberapa sub bagian, yakni pendahuluan, isi dan penutup. Secara rincinya silahkan lihat di bawah ini :
BAB I Pendahuluan
·         Latar belakang
·         Rumusan makalah
·         Tujuan penulisan
·         Sistematika penulisan
BAB III Pembahasan
·         Isi
BAB IV Penutup
  • Kesimpulan











BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Pernikahan
Perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang dialami oleh hampir semua manusia dimuka bumi ini walaupun ada beberapa diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput. Semua agama resmi di Indonesia memangdang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati, dan harus dijaga kelanggengannya. Oleh karena itu, setiap orang tua merasa tugasnya sebagai orang tua telah selesai bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.

*      Berikut ini adalah pengertian dan definisi perkawinan:
1.       UU PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

2.       KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) PASAL 2
Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah

3.       PROF. SUBEKTI, SH
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama

4.       PROF. MR. PAUL SCHOLTEN
Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh Negara




5.       PROF. DR. R. WIRJONO PRODJODIKORO, SH
Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan

6.       K. WANTJIK SALEH, SH
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

7.       PERJANJIAN LAMA
Perkawinan merupakan bagian dari maksud Allah menciptakan manusia. Bukan peristiwa aksidental. Bukan penemuan manusia. tetapi rencana baik Allah - bagian dari cara dunia diciptakan

8.       NILAM W
Perkawinan merupakan komitmen jangka panjang dan bersifat sakral

9.       MENURUT AGAMA KATOLIK
Perkawinan merupakan persatuan antara seorang pria dan seorang wanita, yang diberkati oleh Allah dan diberi tugas untuk meneruskan generasi manusia memelihara dunia.

10.   MENURUT AGAMA KONGHUCU
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
  1. Hukum Pernikahan
Menurut pandangan syari’ah ada lima hukum dasar pernikahan, kelima hukum tersebut sangat erat hubunganya dengan jatidiri dan emampuan seseorang mengenai fisik, psikis dan materi.

1.      Wajib
Wajib hukumnya bagi orang yang mengharapkan keturunan, agar dia tidak terjebak dalam perzinahan, untuk tipe alasan seperti ini, suka ataupun tidak, hukumnya wajib bagi dia untuk menikah. meskipun dengan pernikahan itu nanti bisa menyebabkan terputusnya amalan ibadah sunah.
2. Makruh
Makruh menikah bagi orang yang tidak menyukai pernikahan dan tidak menghendaki atau tidak memiliki keinginan mempunyai keturunan, disamping itu nanti bisa menyebabkan terputusnya amalan ibadah sunah.
3. Mubah
Menikah jadi mubah bila orang yang bersangkutan tidak takut terjebak zina, tidak tertarik memiliki keturunan, dan pernikahannya tidak menyebabkan terputusnya amalan ibadah sunah.
4. Haram
Pernikahan jadi aram bila menyakiti pasangan, seperti impoten, frigid, kelainan sex, tidak mampu memberi nafkah lahir batin, meskipun menika dengan berlandaskan cinta, menjauhi dosa zina dan mendapatkan keturunan.
5. Sunah
Pernikahan menjadi sunah bagi laki-laki Ta’iq, yaitu laki-laki yang sudah mampu secara finansial, kuat sekali keinginanya untuk bersetubuh, kuat sekali keinginan untuk punya keturunan. meskipun ia disibukkan dengan urusan beribadah. hukum ini juga berlaku bagi perempuan.
Ibnu Urfah menambahkan dalam bentuk lain tentang wajibnya menikah bagi perempuan, yaitu lemahnya si perempuan dari kekuatan dirinya serta tidak adanya yang melindungi dirinya selain dengan menikah. (Qurrotul Uyun, hal 8).

  1. Peran Wali Dalam Nikah Paksa
Pernyataan penyerahan mempelai wanita kepada mempelai pria, yang diucapkan oleh ayah dalam kedudukannya, sebagai wali nikah, dapat dilambangkan sebagai akhir tugas yang berhasil dan orang tua di dalam tugasnya untuk memenuhi kebutuhan materiil dan sepirituil anak gadisnya, sehingga anak gadisnya menjadi dewasa dan siap untuk membentuk rumah tangga yang berdiri sendiri. Dengan selesainya ijab kabul itu, maka tugas orang tua beralih kepada suaminya.
Sebelum manusia memasuki pergaulan hidup yang lebih luas, manusia berada dalam kehidupan keluarganya, kemudian terjadi pertumbuhan dalam kehidupannya, dari masa kanak-kanak menjadi dewasa, berkembang, mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu di sekitarnya. Kemudian menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah, pendirian-pendirian dan anggapan-anggapan yang hidup di dalam masyarakat dimana ia berada, sehingga dalam tingkah lakunya ia mendalilkan oleh kesediaan secara sadar atau tidak sadar mengakui sejumlah kaedah yang terdapat dalam masyarakat.
Kaidah-kaidah itu meliputi kaedah agama, kaedah kesusilaan, kaedah kesopanan dan kaedah hukum. Kadang-kadang kaedah itu diartikan sebagai rem, yaitu sebagai pembatasan kebebasan manusia. Pengakuan bersama akan kaedah sosial merupakan perikatan sosial yang sangat penting.
Ditegaskan dalam kitab Hasyiah Bujairami dan kitab al-Iqna’ karangan Khatib Al-Syarbini bahwa seorang ayah atau kakek bisa menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak ada permusuhan antara ayah dan gadis tersebut. Artinya tidak terbukti ada unsur penganiayaan dan kepentingan sepihak dalam pernikahan tersebut;
2. Sang ayah menikahkanya dengan orang yang sepadan dengannya (kafa’ah).
3. Ayah menikahkannya dengan mahar mitsil (yaitu senilai mahar atau lebih mahal dari mahar yang diterima ibu sang gadis);
4. Mahar harus dengan valuta yang berlaku di negeri dimana mereka hidup;
5. Suaminya harus mampu membayar mahar tersebut;
6. Ayah tidak menikahkanya dengan seseorang yang membuat gadis tersebut menderita, misalnya seorang yang buta atau orang yang sudah tua;
7. Gadis tersebut belum wajib melaksanakan haji, karena kalau sudah wajib akan tertunda hajinya oleh pernikahan tersebut;

Ulama Wali Iraqi menambahkan satu syarat lagi, yaitu tidak ada permusuhan antara gadis dan lelaki yang dinikahkan dengannya. Melihat syarat-syarat tersebut, secara jelas dapat dipahami bahwa inti dari syarat tersebut adalah tidak adanya keberatan dari pihak gadis untuk menerima nikah tersebut dan itu artinya adalah atas persetujuannya.
Dengan demikian juga dapat difahami bahwa mazhab Syafii sebenarnya juga mengatakan bahwa nikah paksa tidak sah kecuali mendapatkan persetujuan dari si gadis. Sekiranya gadis tersebut ternyata menerima dan tidak menolak maka tidak perlu dilakukan pengulangan akad nikah.

  1. Hukum Pernikahan Secara Paksa
Pada hakikatnya Allah menyerahkan perwalian kepada laki-laki dengan ayat al-Quran,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
            “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dank arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang soleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirklan nusyusnya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka.. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar”. (Annisa ayat 34)
Ada dua alasan mengenai hal ini sebagian berdasarkan kualitas dan yang lainnya berdasarkan kodrat sebagai berikut :
  1. Allah menciptakan laki-laki dan kekuatan fisik yang lebih besar. Oleh karena itu, laki-laki melengkapi wanita yang memiliki fisik yang lemah dan lembut.
  2. Allah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin keluarga. Jika keluarga hancur, dia memikul beban kehancuran. Tanggung jawab ini tentu saja menjadikannya terhormat dan tempat bersandar.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (١٩)
Artinya:“ Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Ø  Gadis diminta pendapatnya dan tidak dipaksa
Seorang gadis memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dalam masalah nikah. Karena itu, ayah atau walinya tidak boleh mengabaikan pendapat dan keridhoannya. Tidak ada hak bagi seorang ayah ataupun yang lain memaksa puterinya menikah dengan lelaki yang tidak disukainya, melainkan harus berdasarkan izin darinya, karena Rasulullah SAW bersabda :



“Janda lebih berhak atas dirinya dibanding walinya. Sedangkan gadis dimintai izin tentang urusan dirinya. Izinnya adalah diamnya”[1]
Seorang gadis mendatangi Nabi SAW. Dan memberitahuka bahwa ayahnya telah mengawinkannya dengan anak pamannya, padahal ia tidak menyukainya.
Karena itu Nabi SAW menyerahkan masalah ini kepadanya. Ia pun berkata, “saya sebenarnya rela terhadap perlakuan ayah saya, tetapi saya ingin mengajarkan kepada kaum perempuan bahwa seorang ayah tidak boleh memaksakan dalam hal ini.”[2]
Seorang ayah juga tidak boleh menunda perkawinan putrinya jika telah dilamar oleh lelaki yang kufu (sebanding), mempunyai agama dan akhlak yang baik. Rasulullah SAW bersabda,



“ada tiga hal yang tidak boleh di tunda-tunda : shalat jika telah tiba waktunya, jenazah kalau sudah siap, dan gadis jika sudah mendapatkan pasangan yang sebanding.”[3]



“apabila dating kepada kalian orang yang agama dan akhlaknya bisa diterima, nikahkanlah. Jika tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”[4]
Ø  Halal Dan  Haram Pernikahan Secara Paksa
Kalau yang memaksa adalah ayah (orang tua laki-laki), maka hukumnya sah. Karena ayah adalah wali mujbir yaitu wali yang punya hak untuk memaksa putrinya yang masih perawan (kalau janda tidak boleh) untuk menikah dengan pilihan sang ayah tanpa seizin putrinya. Sedangkan kalau wali lain selain ayah harus seizin yang hendak menikah. Ini menurut pendapat madzhab Syafi'i. Sedang menurut pendapat lain seperti Al-Jashas, ayah tidak boleh memaksa putrinya walau masih perawan untuk menikah dengan pria tertentu.
Al Jaziri dalam Al-Fiqh ala Madzahibil Arba'ah menyatakan:
‘Wali mujbir (yakni ayah) boleh memaksa putrinya yang perawan dan sudah baligh untuk menikahkan tanpa ijin dan kerelaannya. Akan tetap ulama berbeda pendapat tentang syarat-syarat yang menjadi sahnya kawin paksa.”
Apabila seorang gadis yang sudah dewasa, bolehkah orang tuanya menikahkannya dengan paksa, tanpa persetujuan gadis tersebut? Masalah ini ada dua pendapat yang populer di kalangan ulama fiqih.
1.      Pendapat pertama: orang tua boleh menikahkan paksa anak gadisnya. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Malik dan Imam Syafii serta riwayat dari Imam Ahmad. Alasan pendapat ini adalah hadist di atas bahwa kalau janda lebih berhak atas dirinya, maka artinya orang tua lebih berhak atas anak gadisnya. Kemudian juga hadist yang mengatakan “seorang gadis datang ke Rasulullah s.a.w. mengadu kepada Rasulullah bahwa ayahnya menikahkannya dengan seseorang yang ia tidak menyukainya, lalu Rasulullah s.a.w. memberinya pilihan (boleh melanjutkan dan boleh menolak)” (HR. Abud Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).  Rasulullah memberinya pilihan, itu menunjukkan bahwa nikahnya sah. Ada juga riwayat hadist tersebut dengan redaksi “gadist walinya lah yang menikahkannya” (HR. Daraqutni)
2.      Pendapat kedua, gadis dan janda yang baligh aqil sama sekali tidak boleh dipaksa menikah dan nikah paksa hukumnya tidak sah. Pendapat ini berlandas pada hadist riwayat Bukhari Muslim “Seorang gadis Tidak boleh dinikahi hingga mendapatkan persetujuannya, begitu juga seorang janda tidak boleh dinikahi hingga mendapatkan persetujuannya. Seorang sahabat bertanya “bagaimana mengetahui persetujuannya (umumnya mereka malu)?” Rasulullah s.a.w. menjawab “Izinnya adalah ketika ia diam dan tidak menolak”. Shan’ani penulis kitab Subulus Salam Syarah Bulughul Maraam bahwa hadist ini juga menunjukkan kaharaman nikah paksa.






BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pernikahan itu hendaklah berlandaskan suka sama suka (tidak ada paksaan) melainkan memberikan kesempatan bagi calon pengantin untuk bisa memilih siapa yang akan menjadi pasangannya nanti. Sebab hal ini dilakukan semata-mata untuk menjauhkan dari hal-hal yang berbau negative dalam sebuah ikatan perkawinan dan menjalankan rumah tangganya. Maka dari itu peran ayah sebagai wali tidaklah menutup mata dan menanyakan keinginan anak perempuannya yang siap untuk dinikahkan, agar hubungan ayah dan anak perempuannya baik-baik saja dan tidak ada permusuhan antar keduanya.
4.2 Saran Dan Kritik
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang. Akhir kata semoga  makalah  ini dapat terealisasi sesuai dengan perencanaan dan dapat berguna bagi kami khususnya dan bagi para pembaca umumnya.










Daftar Pustaka
Ø  DR. Qaradhawi, Yusuf. 2006. Fiqih Wanita. Penerbit Jabal: Bandung
Ø  DR. Qardawi, Yusuf. 2003. Halah Haram Dalam Islam. Penerbit Era Intermedia: Solo
Ø  Rasjid, Sulaiman. 1955. Fiqih Islam. Penerbit Attahirijah Djatinegara: Djakarta
Ø  http://www.alkhoirot.net/2012/04/hukum-kawin-paksa.html  13 mei 2013 pukul  19:24 wib
Ø   



[1] Muttafaqun’ alaih
[2] HR. Ibnu Majah dan lainnya
[3] HR. Turmudzi
[4] HR. Turmudzi

1 komentar: